Tempatnya pengetahuan dasar tentang Islam

16 March 2020

Mendalami Masalah " Ar-Radd " Dalam Ilmu Faraidh

Inilah pendalaman pengetahuan ilmu Faraidh tentang Ar-Radd, sebagai lanjutan dari pembahasan sebelumnya cara hitung waris dalam Islam. 
Mendalami Masalah " Ar-Radd " Dalam Ilmu Faraidh

Sebagai pemantapan pengetahuan tentang ilmu waris, inilah pendalaman tentang Masalah " Ar-Radd ". Pendalaman disini mencakup pengertiannya, maksudnya, macam2nya, syarat2nya, beserta contoh2nya. 

Dalam Ilmu waris (Faraidh) ada istilah Ar-Radd, yg penjelasannya sbb:

✔ Pengertian Ar-Radd

Ar-radd (baca: ar-rodd) berasal dari bahasa Arab yg berarti 'mengembalikan'. Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraidh ialah berkurangnya pokok masalah dan berlebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Masalah ar-radd merupakan kebalikan dari masalah al-'aul spt yg diulas pada judul berikutnya.

Sebagai satu contoh keadaan dalam pembagian warisan (hak waris) utk sejumlah ahli waris (ashhabul furudh); ketika mereka telah menerima haknya masing2, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa; Namun tidak ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah; Maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan kepada para ashhabul furudh sesuai dng bagian mereka masing2.

✔ Syarat-Syarat Ar-Radd

> Syarat Ar-Radd ada 3 yaitu:

1. Ada ashhabul furudh
2. Tidak ada 'ashabah
3. Ada sisa harta waris

Kalau saja dalam pembagian harta waris tidak terkumpul 3 syarat tersebut maka masalah ar-radd tidak akan terjadi.

✔ Penerima Ar-Radd

> Ashhabul furudh yg bisa menerima ar-radd ada 8 orang, yaitu:

1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Saudara kandung perempuan
4. Saudara perempuan seayah
5. Ibu kandung
6. Nenek shahih (ibu dari bapak)
7. Saudara perempuan seibu
8. Saudara laki-laki seibu

> Ashhabul furudh yg tidak bisa menerima ar-radd ada 2 orang, yaitu:

1. Suami dan
2. Istri

Bagaimanapun keadaannya, suami atau istri tidak bisa mendapat bagian tambahan dari sisa harta waris.

Hal ini disebabkan ikatan kekerabatan mereka bukanlah karena nasab, melainkan karena sebab (sababiyah), yakni ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu suami atau istri tidak berhak mendapatkan ar-radd tetapi hanya mendapat bagian sesuai bagian yg menjadi hak masing-masing.

Sedgkan mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Karena kalau dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya (ayah atau kakek), maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris berupa 'ashabah.

✔ Macam-macam Ar-Radd

> Ar-Radd ada 4 macam keadaan, yaitu:

1. Adanya ahli waris penerima bagian yg sama, dan tanpa adanya suami atau istri
2. Adanya ahli waris penerima bagian yg berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri
3. Adanya ahli waris penerima bagian yg sama, dan dengan adanya suami atau istri
4. Adanya ahli waris penerima bagian yg berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri

> Hukum Keadaan Pertama

Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari ashhabul furudh dgn bagian yg sama (misalnya, semua ahli waris mendapatkan bagian setengah, atau seperempat, dan seterusnya) dan dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris.

Contohnya:

Ada seseorang wafat. Beliau hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok masalahnya yaitu tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai furudhul mas'alah yaitu dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing2 sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris penerima bagian yg sama.

Atau ada seseorang wafat. Beliau hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung perempuan, maka pokok masalahnya yaitu sepuluh. Dan pembagiannya pun secara fardh dan ar-radd. Mengenai pembagiannya (furudhul mas'alah) ada di judul yg relevan yakni tentang Warisan dan Pembagiannya.

Atau ada lagi seseorang wafat. Beliau meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya yaitu dua, disebabkan bagiannya sama.

> Hukum Keadaan Kedua

Apabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ahli waris yg berbeda-beda (dan tidak ada salah satu dari suami atau istri) maka cara pembagiannya dihitung dan nilai bagiannya, bukan dari jumlah ahli waris (per kepala).

Contohnya:

Ada seseorang wafat. Beliau meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu;
Maka pembagiannya yaitu:

- Ibu mendapatkan seperenam (1/6),
- Kedua saudara laki-laki seibu mendapatkan sepertiga (1/3).

Di sini tampak jumlah bagiannya yaitu 3 (tiga), dan itulah angka yg dijadikan pokok masalah (ashlul mas'alah).

Atau ada seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu perempuan dari anak lak-laki. Maka pokok masalahnya yaitu 4 (empat), karena jumlah bagiannya ada empat.

Atau ada lagi seseorang wafat. Beliau meninggalkan seorang ibu, saudara kandung perempuan, serta saudara laki-laki seibu. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.

Atau ada seseorang wafat dan meninggalkan seorang nenek, anak perempuan, serta seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.

Ada lagi seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan serta saudara perempuan seayah. Maka pokok masalahnya 4 (empat), karena jumlah bagiannya empat.

Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, dan saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya yaitu lima, karena jumlah bagiannya adalah lima.

> Hukum keadaan Ketiga

Apabila para ahli waris semuanya dari ashhabul furudh menerima bagian yang sama, disertai salah satu dari suami atau istri, maka ketentuan yg berlaku yaitu dgn menjadikan pokok masalahnya dari ashhabul furudh yg tidak dapat dilebihkan (di-radd-kan); kemudian sisanya dibagikan kepada yg lain sesuai dgn jumlah per kepala.

Contohnya:

Ada seseorang wafat. Beliau meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya tiga per empat (3/4) dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Inlah langkah termudahnya.

Atau ada seseorang wafat meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu, serta seorang saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya yaitu empat, karena angka itu diambil dari ashhabul furudh yg tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri, yg mendapatkan bagian seperempat (1/4).

Atau ada lagi seseorang wafat meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak perempuan. Pokok masalahnya adalah 8 (delapan), angka ini diambil dari bagian ashhabul furudh yg tidak dapat di-radd-kan. Maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, [ 1 bagian dari 8 pokok masalah ], sedangkan sisanya tujuh per delapan (7/8) merupakan bagian utk lima anak perempuan, dibagi secara rata.

Untuk kemudahan perhitungan mengenai contoh keadaan ini maka digunakan teori 'tashhih' atau penyetaraan penyebut (ashlul mas'alah) agar bisa dibagi 5 dan 8. Maka diambillah angka 40 sbg ashlul mas'alah, dən menjadi spt ini:

1/8 x 40 = 5 (bagian utk ibu) = (5/40).

7/8 x 40 = 35 (bagian utk 5 anak) = 7 (bagian utk masing2 anak) = (7/40).

Jadi misalnya harta warisannya senilai 100.000.000 (seratus juta) maka utk:

~ Ibu = 5/40 x 100.000.000 = 12.500.000.

~ masing2 anak = 17.500.000.

Chek keakuratan:

100.000.000 - 12,500,000 - 87,500,000 (17.500.000 x 5) = habis atau selesai.

Atau ada lagi seseorang wafat meninggalkan seorang istri dan empat anak perempuan. Dalam hal ini pokok masalahnya yaitu empat, diambil dari istri sebagai ashhabul furudh yg tidak dapat di-radd-kan. Maka pembagiannya yaitu: istri mendapatkan seperempat (1/4) bagian, sedangkan sisanya, yakni tiga per empat (3/4) dibagi secara merata utk empat anak perempuan pewaris.

> Hukum keadaan Keempat

Apabila dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yg berbeda-beda bagiannya, dan di dalamnya terdapat pula suami atau istri, maka ketentuannya yaitu harus menjadikannya dalam dua masalah. Pada permasalahan pertama tidak menyertakan suami atau istri, dan pada permasalahan kedua menyertakan suami atau istri.

Kemudian dibuat diagram masing2 secara terpisah. Setelah itu diagram tersebut dicocokkan dgn salah satu dari tiga kriteria yg ada, apakah tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun (perbedaan), sbgmn pada judul sebelumnya.

Contohnya:

Ada seseorang wafat. Beliau  meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:

Diagram pertama tanpa menyertakan suami dan istri:
Pokok masalahnya yaitu enam, dengan ar-radd menjadi lima (yakni dari jumlah bagian yg ada).

Bagian nenek seperenam (1/6) berarti satu bagian.

Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.

Adapun diagram kedua menyertakan suami atau istri:
Pokok masalahnya yaitu empat, diambil dari bagian ashhabul furudh yg tidak dapat di-radd-kan, yakni istri.

Bagian istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian.

Sisanya, yaitu tiga bagian, merupakan bagian utk nenek dan kedua saudara perempuan seibu.

Dengan melihat kedua diagram tersebut, tampaklah bagian yg sama antara bagian nenek dan bagian dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam kedua diagram.

Kemudian bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris tinggal tiga bagian. Keadaan ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan masalah ar-radd. Karenanya tidak lagi memerlukan tashih, dan cukuplah apabila diagram kedua itu sebagai pokok masalah.

Atau ada lagi seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu.

Pada diagram pertama tanpa menyertakan suami atau istri. Dengn demikian maka pokok masalahnya yaitu enam, dan dengan ar-radd maka menjadi lima, karena itulah jumlah dari bagian yang ada.

Sedangkan dalam diagram kedua menyertakan suami atau istri. Dengn demikian maka pokok masalahnya yaitu delapan, karena merupakan ashabul furudh orang yg tidak dapat di-radd-kan, yakni istri.

Apabila istri mengambil bagiannya, yakni yg seperdelapan, maka sisanya tujuh per delapan (7/8), dan sisa ini merupakan bagian dua anak perempuan dengan ibu, secara fardh dan radd.

Alasannya karena tujuh dan lima itu tabaayun (berbeda). Kemudian langkah berikutnya yaitu mengalikan pokok masalah kedua (delapan) dengan pokok masalah pertama (lima). Maka hasil perkalian antara kedua pokok masalah itu adalah pokok masalah bagi kedua ilustrasi tersebut.

Setelah pokok masalah dari kedua diagram permasalahan tersebut diketahui, maka tampaklah bagian istri adalah seperdelapan dari empat puluh bagian, yang berarti ia mendapat lima (5) bagian.
Sdgkan bagian kedua anak perempuan dan ibu adalah sisa dari bagian istri, yakni tiga puluh lima (35) bagian.

Maka pembagiannya sbb:

Bagian kedua anak perempuan adalah hasil perkalian antara empat (bagiannya dalam diagram pertama) dengan tujuh (merupakan sisa bagian pada diagram kedua) berarti dua puluh delapan (28) bagian.

Adapun bagian ibu adalah hasil perkalian antara bagiannya dalam diagram pertama (satu bagian) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian dalam diagram kedua) berarti tujuh (7) bagian.

Jadi, dari jumlah keseluruhan antara bagian istri, ditambah bagian kedua anak perempuan, ditambah bagian ibu adalah 5 + 28 + 7 = 40.

Diagram pertama tanpa menyertakan suami/istri
Pokok masalahnya aslinya dari 65, dengan radd, menjadi 5

Bagian kedua anak perempuan 2/3, berarti 4
Bagian ibu seperenam (1/6), berarti 1
Jumlah bagian yaitu 5

Diagram kedua dengan menyertakan suami/istri

Pokok masalah yaitu delapan, diambil dari ashhabul furudh yang tak dapat di-radd-kan. Maka setelah tashih menjadi 40.
Bagian istri 1/8, berarti 1
setelah tashih menjadi 5
Bagian dua anak perempuan dan ibu yaitu 7
setelah tashih bagian anak perempuan 4 x 7
= 28
bagian ibu yaitu 7

Sekian pembahasan Masalah " Ar-Radd " Dalam Ilmu Faraidh Semoga bermanfaat., semoga dapat menambah wawasan pengetahuan kita tentang Islam khususnya bab ar radd fil faroid

No comments: